Perjalanan Syaikh Abu Hatam rah.a

Sunday, January 16, 2011

Sebagaimana diceritakan oleh Abu Abdullah Khawas rah.a –salah seorang muridnya-. Katanya, “Suatu ketika kami pergi ke daerah Raye bersama Syaikh Hatam rah.a. Kami berangkat bersama rombongan sejumlah 330 orang dengan niat untuk ibadah haji. Semua orang dalam jemaah itu adalah mutawakkiliin yang tidak membawa bekal apa-apa untuk perjalanan. Di kampung Raye kami melewati seorang pedagang. Ia menyambut kami untuk makan malam dan melayani kami selama satu malam. Keesokan harinya orang itu berkata kepada Syaikh, “Saya hendak pergi mengunjungi seorang ulama yang sedang sakit. Jika tuan menginingkan, mari kita pergi bersama.” Maka Syaikh Abu Hatam rah.a berkata, “Menengok orang sakit adalah berpahala, terlebih lagi menengok ulama adalah ibadah. Saya hendak ikut ke sana.” Ulama yang sakit itu adalah Qadhi di kawasan Raye yaitu Syaikh Muhammad bin Muqaatil rah.a.

Ketika sampai di dekat rumah itu, Syaikh Abu Hatam rah.a kelihatan gelisah melihat rumah ulama itu, lalu berkata, “Allahu Akbar! Rumah seorang alim begitu megah bagaikan satu mahligai!” Kami minta izin untuk masuk. Kami melihat interior rumah itu bagus, bersih, luas, dan mewah. Di beberapa tempat tergantung tirai-tirai. Melihat keadaan rumah itu Abu Hatam rah.a tenggelam dalam pemikirannya sendiri.

Ketika kami menemui qadhi itu, kami melihat ia sedang istirahat, berbaring di tempat tidur yang sangat lembut. Salah seorang pembantunya sedang mengipasi bagian kepalanya. Pedagang itu memberi salam dan duduk di sebelah tempat tidurnya lalu menyapa, “Apa kabar?”

Qadhi mempersilakan Syaikh Abu Hatam rah.a untuk duduk, tetapi Syaikh Abu Hatam menolaknya. Qadhi itu bertanya, “Apakah tuan hendak mengatakan sesuatu?”

Syaikh Abu Hatam menjawab, “Ya, saya hendak bertanya tentang satu masalah agama.”

Qadhi berkata, “Silakan.”

Syaikh Abu Hatam berkata, “Sebaiknya tuan bangun dulu dan duduk.” Maka para pembantunya menolongnya untuk duduk, karena ia kesulitan untuk duduk sendiri. Syaikh Abu Hatam bertanya, “Tuan telah mempelajari ilmu-ilmu agama dari siapa?”

Qadhi menjawab, “Dari ulama-ulama terpercaya.”

Syaikh Abu Hatam bertanya, “Ulama-ulama itu belajar dari siapa?”

Qadhi menjawab, “Dari para shahabat ra.”

Syaikh Abu Hatam bertanya lagi, “Para shahabat ra telah mempelajari ilmu agama dari siapa?”

Qadhi menjawab, “Dari Rasulullah saw.”

Syaikh Abu Hatam bertanya, “Rasulullah saw telah mempelajarinya dari siapa?”

Qadhi menjawab, “ Dari Jibril as.”

Syaikh Abu Hatam bertanya lagi, “Jibril mempelajarinya dari siapa?”

Qadhi menjawab, “ Dari Allah.”

Maka Syaikh Abu Hatam bertanya, “Apakah ilmu yang telah tuan pelajari dari Allah SWT melalui Jibril a.s, Rasulullahsaw, para shahabat ra, dan ulama terpercaya telah mengajarkan kepada tuan bahwa siapa yang memiliki rumah mewah adalah berkedudukan tinggi di sisi Allah?”

Qadhi menjawab, “Tidak, perkara demikian tidak terdapat dalam ilmu itu.”

Syaikh Hatam bertanya, “Jika perkara ini tidak terdapat dalam ilmu, maka perkara apakah yang terdapat di dalamnya?”

Maka qadhi itu menjawab, “Di dalam ilmu itu didapati bahwa siapa yang tidak mencintai dunia tetapi mencintai akhirat dan yang terkait dengan akhirat, menyayangi fakir miskin, mengantar sesuatu untuk akhirat kepada Allah sebagai bekal dirinya sendiri, maka ia akan memperoleh martabat di sisi Allah.”

Maka Syaikh Hatim berkata, “Lalu tuan mengikuti jejak siapa? Rasulullah saw, para shahabat, ulama terpercaya, atau Fir’aun dan Namrudz? Wahai para ulama yang sesat, melihat keadaan tuan seperti itu, ahli dunia yang jahil dan tenggelam dalam urusan dunia pun akan berkata, “Wajarlah jika kami menjadi lebih buruk.”

Setelah berkata demikian, maka Syaikh Abu Hatam rah.a pun pulang, dan keadaan sakit yang dialami qadhi bertambah buruk akibat perkataannya. Orang banyak pun mulai mencerca Abu Hatam rah.a.

Kemudian ada orang yang memberitahu bahwa Tanafasi rah.a. adalah juga seorang ulama yang terkenal di di kawasan Qazwin (sekitar 81 kilometer dari Raye) dan hidup lebih mewah lagi. Maka Syaikh Abu Hatam rah.a. pergi ke sana untuk menemuinya. Setelah bertemu dengannya ia berkata, “Hamba ini seorang ajam (non Arab) ingin belajar kepada tuan soal agama dari awal, yaitu dari wudhu yang merupakan kunci shalat.”

Tanafasi rah.a. menjawab, “Dengan senang hati, saya bersedia.” Kemudian ia menyuruh seseorang membawakan air untuk wudhu dan memperagakan cara berwudhu dengan sempurna sambil berkata, “Beginilah cara berwudhu.”

Setelah Tanafasi selesai memperagakan cara berwudhu, Syaikh Abu Hatam berkata, “Izinkanlah saya mengambil wudhu di hadapan tuan, supaya pelajaran saya menjadi sempurna.” Maka Tanafasi beranjak dari tempat wudhu kemudian Syaikh Abu Hatam duduk di tempat itu dan mengambil wudhu. Ia membasuh tangannyaa sebanyak empat kali. Tanafasi menegur, “Ini adalah israf (berlebihan), sebaiknya tiga kali saja.” Maka Syaikh Abu Hatam berkata, “Subhanallah! Sedikit saja air yang saya gunakan menjadi kemubaziran. Bukankah semua perhiasan dan kemewahan yang tuan gunakan untuk hidup mewah itu adalah suatu kemubaziran?” Barulah Tanafasi menyadari bahwa maksud Syaikh Abu Hatam bukanlah untuk belajar tetapi hendak menegurnya.


Setelah itu Syaikh Abu Hatam rah.a. sampai di Baghdad. Ketika Imam Ahmad bin Hanbal rah.a. mengetahui kedatangannya, ia pun menjumpainya lalu bertanya, “Apakah cara untuk mendapatkan keselamatan dari pengaruh buruk dunia?” Syaikh Abu Hatam menjawab, “Engkau tidak akan selamat dari dunia selagi tidak terdapat perkara ini: (1) Ampunilah orang yang berkelakuan jahil kepadamu, (2) Jangan berlaku jahil kepadanya, (3) Membelanjakan apa yang ada pada kamu ke atasnya dan (4) Jangan percaya dengan apa yang kamu miliki.”

Kemudian Syaikh Abu Hatam rah.a. sampai ke Madinah al Munawwarah. Ketika mengetahui kedatangannya orang-orang di sana berkumpul untuk menemuinya. Ia bertanya kepada mereka, “Kota besar manakah ini?” Mereka menjawab, “Inilah kota besar Rasulullah saw.” Ia bertanya, “Dimanakah istana Rasulullah saw. Saya hendak ke sana untuk mengerjakan shalat dua rakaat.” Mereka menjawab, “Rasulullah tidak pernah tinggal dalam istana. Rumah beliau saw adalah pondok yang sederhana, kecil dan rendah.” Ia berkata, “Tunjukilah saya istana-istana para shahabat r.a.!” Mereka menjawab, “Para shahabat pun tidak pernah mempunyai bangunan seperti istana. Mereka tinggal di pondok-pondok yang kecil dan rendah yang atapnya seolah-olah hendak menyentuh bumi.”

Syaikh Abu Hatam berkata, “Kalau begitu, maka ini adalah kota Fir’aun.” Mendengar itu, mereka ramai-ramai menangkapnya (karena mereka tersinggung melihat orang ajam menghina Madinah al Munawwarah) lalu membawanya kepada Amir Madinah al Munawwarah. Mereka mengadukan kepadanya bahwa orang ajam ini menghina Madinah Thayyibah dengan mengatakannya sebagai kota Fir’aun. Amir bertanya kepadanya, “Apakah hal ini benar?” Ia berkata, “Tuan jangan terburu nafsu. Silakan dengar rangkaian peristiwa tadi. Saya seorang ajam, ketika saya memeasuki kota ini, saya bertanya kota siapakah ini?” Kemudian ia menceritakan seluruh peristiwa itu. Setelah itu ia berkata bahwa di dalam Al Quran yang suci Allah SWT berfirman:

“Laqad kaana lakum fii Rasulillahi uswatun hasanah”

“Sesungguhnya pada diri Rasulullah itu adaa suri tauladan yang baik…” (QS Al Ahzab[33]:21)

“Jadi jawablah sendiri, apakah kalian telah mengikuti cara Rasulullah saw atau cara Fir’aun.” Mendengar keterangan demikian, kemudian mereka melepaskannya.

Sumber : Dakwah Ila Allah

0 comments:

Post a Comment

 
 
 

Payment for books thru PayPal

Nama Produk
Pilihan Serahan

Payment thru Bank Transfer

Nama:
Email Address:
Produk Pesanan dan Jumlah Harga dibayar.
Pilihan Serahan Produk
Bank transfer shj. CIMB : 0106-0000100-20-5
Maybank : 151016003450

Form provided by Freedback.
 
Copyright © 8 | Lan